Kaum Santri – Sejak dulu masyarakat islam indonesia pada umumnya tdak asing dengan peringatan hari besar islam, seperti memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, Isro Miroj Nabi Muhamad SAW, awal tahun baru hijriyyah, hingga berkupul di malam nisfu Sya’ban.
Hal itu berlanjut hingga beberapa dekade terakhir ada sekelompok orang mempermasalahkan perayaan-perayaan hari besar islam tersebut selain hari raya besar islam, bahkan mereka menyalahkan dan membid’ahkan golongan yag tidak sependapat dengan dia, bahkan sebagian dari mereka meyakini bahwa para ulama yang membawa ajaran tersebut dianggap dan tak segan-segan dicap ‘sesat’ wal iyadzu billah.
lantas, bagaimana para ulama menanggapi hal tersebut? sebelumnya mari kita perhatikan hal-hal berikut?
Apa Makna Bid’ah?
Bid’ah secara bahasa berarti sesuatu baru yang belum ada sebelumnya.
Secara istilah Bidah dalam agama -sebagaimana yang diutarakan Doktor Alwi Bin Syihab- adalah segala sesuatu yang menyalahi Quran, Sunnah, dan ijma’ ulama.
Beliau mengutip pendapat dari para ulama, salah satunya Ibnu Rojab Al Hanbali yang mengatakan bahwasanya bidah adalah:
“Segala sesuatu yang baru yang tidak ada dasarnya dalam agama, adapun hal baru yang bersandar dengan dasar agama bukanlah bid’ah secara istilah, walaupun bid’ah secara bahasa”.
Imam Ibnu Hajar Al Asqolani juga menyatakan bahwa bidah adalah: “segala hal baru yang menyalahi perintah syariat beserta dalilnya”.
Maka jelaslah bahwa bidah bukanlah segala hal yang tidak dilakukan Nabi, oleh karenanya salah satu sesepuh ulama Indonesia KH. HASYIM ASYARI dalam kitabnya -Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah- menukil pendapat Sulthonul Ulama yang membagi bidah menjadi 5: wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah.
Hal itu senada dengan yang diutarakan Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim, beliau membagi bidah menjadi bidah menjadi lima, dan mengatakan bahwa hadits (كل بدعة ضلالة) -segala yg bidah itu sesat- adalah lafadz umum yang dikhususkan atau ada pengecualian dalam lafadz tersebut, maksud dari hadis tersebut adalah “kebanyakan” bidah itu sesat.
Hal ini diperkuat dengan hadis Dalam hadits Nabi yang shahih disebutkan:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang membuat sunnah hasanah dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim). Dalam hadits tersebut jelas sekali Nabi Muhammad membagi kata sunnah menjadi dua versi, yakni versi hasanah (baik) dan versi sayyi’ah (buruk).
Lalu apa makna sunnah dalam konteks yang dibagi dua ini?
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan istilah “sanna sunnah hasanah” sebagai memulai kebaikan (al-ibtida’ bil-khairat) sedangkan “sanna sunnah sayyi’ah” sebagai memulai/membuat-buat berbagai kebatilan dan keburukan (ikhtira’ al-abathil wal-mustaqbahat). Hal ini berarti kata sunnah di situ bukanlah sunnah Rasulullah seperti yang disangka kelompok di atas, tetapi adalah hal baru secara umum yang memang adakalanya baik dan adakalanya buruk (An-Nawawi, Syarh Muslim, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, juz VII, halaman 104). Di bagian lain di kitab yang sama, An-Nawawi menjelaskan sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah ini dengan redaksi membuat bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Ia berkata:
أَنَّ كُلَّ مَنِ ابْتَدَعَ شَيْئًا مِنَ الشَّرِّ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ كُلِّ مَنِ اقْتَدَى بِهِ فِي ذَلِكَ الْعَمَلِ مِثْلَ عَمَلِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمِثْلُهُ من ابتدع شيأ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ كُلِّ مَنْ يَعْمَلُ بِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُوَ مُوَافِقٌ لِلْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً “
Bahwasanya setiap orang yang membuat bid’ah (hal baru) yang buruk, maka ia mendapat semisal dosa orang yang mengikutinya dalam perbuatan itu hingga hari kiamat. Begitu juga orang yang membuat bid’ah (hal baru) yang baik, maka ia mendapat semisal pahala orang yang mengikutinya dalam perbuatan itu hingga hari kiamat. Ini sesuai dengan hadits sahih “siapa yang membuat sunnah hasanah…” (An-Nawawi, Syarh Muslim, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, juz XI, halaman 166).
Apa Tujuan Memperingati Hari Besar Islam?
Sayyid Muhammad Bin Alawi AlMaliki dalam banyak kitabnya -salah satunya “madza fi syaban”- menerangkan bahwa tujuan peringatan hari besar islam adalah untuk senantiasa mengingatkan umat islam dengan sejarah-sejarah penting dalam islam.
Beliau yakin tidak ada satupun ulama islam yang menentang tujuan tersebut, walaupun caranya mungkin berbeda-beda, tapi tujuannya tetap sama. Lantas, apakah salah kita mengingatkan ummat dengan memanfaatkan event-event tersebut, sebenarnya apasih yang kita peringati dan kita agungkan?
Perlu diketahui, bahwa dalam memperingati hari besar islam, hendakanya kita mengagungkan Alloh Tuhan Yang Menciptakan hari tersebut, karena Dia lah yang mengatur segala kejadian tersebut, kita memperingatinya sebagai bentuk cinta dan pengagungan kita bukan pada hari atau tempat tertentu, tetapi kepada Pencipta Hari tersebut, dan kepada Sang Kekasih yang menjadi penyebab kemuliaan hari-hari tersebut.
Apakah salah kita mencintai dan mengagungkan Alloh dan RosulNYA? Apakah salah kita mengingat sejarah baginda Nabi Muhammad SAW dan para umatnya?
Sedangkan peringatan kemerdekaan Negara saja tidak ada yang mempermasalahkan!!!
Kenapa Memperingati di Hari Tertentu?
mungkin ada yang bertanya, kan ulama berbeda pendapat kapan terjadinya isro miroj, maulid Nabi dsb. Lantas kenapa memperingati di hari tertentu saja?
Jawabannya sangatlah mudah, bahwa kalaupun tanggal atau hari tersebut salah tak mengapa, kenapa? Karena sekali lagi yang kita peringati bukan harinya, tapi kita mengingat kembali sebuah peristiwa tersebut, bukan untuk mengagungkan hari ataupun peristiwa tersebut, tapi semata-mata sebagai rasa cinta kita pada seorang yang ada dalam peristiwa tersebut. Sekaligus rasa syukur kita selaku umat islam dengan tidak melupakan sejarah Islam dan Nabinya.
ANGGAP SAJA RITUAL PERAYAAN SEBAGAI KEBIASAAN BUKAN IBADAH!
Sayyid Maliki dalam kitabnya (anwarul bahiyyah) menyatakan bahwa perkumpulan dalam merayakan hari besar islam merupakan kebiasaan dari adat setempat. Sehingga tidak bisa kita menghukumi haram apalagi bidah. Mungkin kita hanya bisa katakan bahwa perkumpulan tersebut paling tidak dicintai oleh syariat.
Kok bisa begitu? Anggap saja seperti pengajian umum setiap hari ahad akhir bulan misalnya, ataupun sekolah dari senin sampai sabtu misalnya. Apakah syariat menyuruh kita untuk melakukan pengajian di hari-hari tertentu itu saja? Jika tidak, apakah kita lantas melarang pengajian dan sekolah tersebut?
Apakah Isi Perkumpulan Tersebut Berlandaskan Syariat?
Dalam menilai sesuatu kita harus adil serta bijak (munshif), hendaknya kita menghukumi esensi dari sesuatu. Jangan sampai kita melarang solat gara-gara beberapa oknum melakukannya dengan tidak benar, seperti telanjang misalnya.
Dalam acara maulid ataupun isro miroj dsb biasanya yang dilakukan adalah berdoa, bersholawat, membaca sejarah islam, dan mauidzoh hasanah, serta menyambung tali ikatan ukhuwwah islamiyyah.
Dan hal itu semua tidak ada yang menentang sama sekali, adapun cara mengekspresikannya dengan mengumpulkan menjadi satu bisa kita katakan merupakan adat istiadat belaka, maka tidak kita hukumi dengan haram apalagi bidah.
BIJAKLAH DALAM MENGHADAPI PERBEDAAN !!!
Terakhir, pesan untuk segenap kaum muslim untuk selalu arif serta bijak dalam menghadapi masalah khilafiyyah furuiyyah (fiqih), jika kita berbeda pendapat tak masalah, asalkan jangan menyalah-nyalahkan dan menghina sesama. Asalkan masih sama dalam satu aqidah dan manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah.
Dalam kaedah Fiqih disampaikan:
لا ينكر المختلف فيه، وإنما ينكر المجمع عليه
Tidak diingkari hal yang bersifat khilafiyyah, akan tetapi kesalahan yang harus diingkari adalah yang bersifat ijma’ (disepakati salah oleh seluruh ulama).
Wallohu a’lam.
M.J (4.03.2022)
Sumber:
- Risalah Ahlusunnah wal jamaah, KH. Hasyim Asyari.
- SYARAH MUSLIM, Imam Nawawi.
- Al Anwar Bahiyyah, Sayyid Maliki.
- Madza Fi Sya’ban, Sayyid Maliki.
- Dinuk Fi Khotor, Habib Alwi Bin Syihab (dosen jamiah Hadramaut)
- Nu. Online